MAKALAH HIRARKI


SUSUNAN HIRARKI PEMERINTAHAN
INDONESIA DAN PRODUK YANG DIHASILKAN

MAKALAH SOSIOLOGI DAN POLITIK


DISUSUN OLEH:
MASAYU NABILA S.A (24215059)
KELAS:
1EB05



Tahun Ajaran 2015/2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas semua rahmat dan hidayah serta perlindungan yang diberikan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “HIRARKI PEMERINTAHAN INDONESIA” Makalah ini saya buat dalam rangka memenuhi tugas dari mata kuliah Sosiologi Politik.

Karena keterbatasan pengetahuan dan masih banyak kekurangan dalam makalah ini semoga dapat di terima oleh pembaca baik kurangnya mohon maaf karena manusia tidak ada yang sempurna,oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi sempurnanya makalah ini dan semoga selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi teman-teman sekalian.


                                                                                                 Depok, 11 Maret 2016
                                                                                                 Masayu Nabila Siti Aisyah
                                                                                                 (24215059)






DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................2
DAFTAR ISI............................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.........................................................4
1.1  Latar Belakang...................................................................4
1.2  Rumusan Masalah...............................................................4
1.3  Tujuan Penulisan.................................................................4
BAB II PEMBAHASAN..........................................................5
2.1 Pengertian Sistem Pemerintah..............................................5
2.2 Macam-macam Sistem Pemerintahan...................................5
2.3 Kekurangan dan kelebihan Sistem Pemerintahan..................6
2.4 Hirarki Pemerintahan...........................................................8
BAB III PENUTUP................................................................30
3.1 Kesimpulan.......................................................................30
DAFTAR PUSTAKA..............................................................31







BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Sistem pemerintahan mempunyai sistem dan tujuan untuk menjaga suatu kestabilan negara itu. Namun di beberapa negara sering terjadi tindakan separatisme karena sistem pemerintahan yang dianggap memberatkan rakyat ataupun merugikan rakyat. Sistem pemerintahan mempunyai fondasi yang kuat dimana tidak bisa diubah dan menjadi statis. Jika suatu pemerintahan mempunya sistem pemerintahan yang statis, absolut maka hal itu akan berlangsung selama-lamanya hingga adanya desakan kaum minoritas untuk memprotes hal tersebut.

Secara luas berarti sistem pemerintahan itu menjaga kestabilan masyarakat, menjaga tingkah laku kaum mayoritas maupun minoritas, menjaga fondasi pemerintahan, menjaga kekuatan politik, pertahanan, ekonomi, keamanan sehingga menjadi sistem pemerintahan yang kontiniu dan demokrasi dimana seharusnya masyarakat bisa ikut turut andil dalam pembangunan sistem pemerintahan tersebut. Hingga saat ini hanya sedikit negara yang bisa mempraktikkan sistem pemerintahan itu secara menyeluruh.

Secara sempit, sistem pemerintahan hanya sebagai sarana kelompok untuk menjalankan roda pemerintahan guna menjaga kestabilan negara dalam waktu relatif lama dan mencegah adanya perilaku reaksioner maupun radikal dari rakyatnya itu sendiri.




1.2  Rumus Masalah
1.      Apa yang dimaksud sistem pemerintahan
2.      Macam-macam sistem pemerintahan
3.      Kekurangan dan kelebihan sistem pemerintahan
4.      Hirarki sistem pemerintahan

1.3  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan sistem pemerintahan
2.      Untuk mengetahui macam-macam sistem pemerintahan
3.      Untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan dari macam-macam sistem pemerintahan
4.      Untuk mengetahui hirarki sistem pemerintahan


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sistem Pemerintahan
Sistem adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional terhadap keseluruhan. Dengan demikian dalam usaha ilmiah sistem adalah suatu tatanan atau susunan yang berupa suatu struktur yang terdiri dari bagian-bagian atau komponenyang berkaitan antara satu dengan lainnya secara teratur dan terencana untuk mencapai suatu tujun. Maka dalam arti yang luas, pemerintahan adalah segala bentuk kegiatan atau aktifitas penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh organ-organ negara yang mempunyai otoritas atau kewenangan untuk menjalankan kekuasaan.
 Pengertian pemerintahan seperti ini mencakup kegiatan atau aktifitas penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dalam arti yang sempit, pemerintahan adalah aktivitas atau kegiatan yang diselenggarakan oleh fungsi eksekutif, presiden ataupun perdana menteri, sampai dengan level birokrasi yang paling rendah tingkatannya. Dari dua pengertian tersebut, maka dalam melakukan pembahasan mengenai pemerintahan negara titik tolak yang dipergunakan adalah dalam konteks pemerintahan dalam arti luas. Yaitu meliputi pembagian kekuasaan dalam negara, hubungan antar alat-alat perlengkapan negara yang menjalankan kekuasaan tersebut.
Dengan demikian, jika pengertian pemerintahan tersebut dikaitkan dengan pengertian sistem, maka yang dimaksud dengan sistem pemerintahan adalah suatu tatanan atau susunan pemerintahan yang berupa suatu struktur yang terdiri dari organ-organ pemegang kekuasaan di dalam negara dan saling melakukan hubungan fungsional di antara organ-organ tersebut baik secara vertikal maupun horisontal untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki.  Jadi, sistem pemerintahan negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga negara, hubungan antar lembaga negara, dan bekerjanya lembaga negaradalam mencapai tujuan pemerintahan negara yang bersangkutan. Tujuan pemerintahan negara pada umumnya didasarkan pada cita-cita atau tujuan negara. Misalnya, tujuan pemerintahan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

2.2 Macam-macam sistem pemerintahan
  1. Sistem Pemerintahan Parlementer
Sistem parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalm mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu : dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya.
Sistem ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
·         Dikepalai oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan sedangkan kepala negara dikepalai oleh presiden/ raja.
·         Kekuasaan eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif sedangkan raja diseleksi berdasarkan undang-undang.
·         Perdana menteri memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen dan non-departemen.
·         Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
·         Kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
·         Kekuasaan eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif.

2.      Sistem Pemerintahan Presidensial
Dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap neagara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya. Model ini dianut oleh Amerika Serikat, Filipina, Indonesia dan sebagian besar negara-negara Amerika Latindan Amerika Tengah.
Sistem ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
·         Dikepalai oleh seorang presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara.
·         Kekuasaan eksekutif presiden diangkat berdasarkan demokrasi rakyat dan dipilih langsung oleh mereka atau melalui badan perwakilan rakyat.
·         Presiden memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen dan non-departemen.
·         Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kepada kekuasaan eksekutif bukan kepada kekuasaan legislatif.
·         Kekuasaan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
·         Kekuasaan eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif.
2.3 Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pemerintahan
Kelebihan Sistem Pemerintahan Parlementer
  1. Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
  2. Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik jelas.
  3. Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi berhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.
  4. Pengaruh rakyat terhadap politik yang dijalankan sangatv besar sehingga suara rakyat sangat didengarkan oleh parlemen.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer
  1. Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
  2. Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bisa ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
  3. Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai mayoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat menguasai parlemen.
  4. Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan menjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.
  5. Kabinet sering dibubarkan karena mendapatkan mosi tidak percaya parlemen
Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial
  1. Badan eksekutif  lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen.
  2. Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden Indonesia adalah lima tahun.
  3. Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.
  4. Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.
  5. Bahwa seorang Menteri tidak dapat dijatuhkan parlemen karena bertanggung jawab kepada presiden.
  6. Pemerintah dapat leluasa kaerna tidak ada bayang-bayang krisis kabinet.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial
  1. Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak.
  2. Sistem pertanggungjawaban kurang jelas.
  3. Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama.
  4. Pengaruh rakyat dalam kebijakan politik negara kurang mendapatkan perhatian.

2.4 Hirarki Sistem Pemerintahan
Sekitar tahun 1950an yaitu awal dari Orde Baru Hirarki Sistem Pemerintahan Indonesia masih bersifat sentralistik yaitu campur tangan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah masih sangatlah kuat. Akibatnya terjadi kesenjangan yang sangat hebat antar daerah. Misalkan didaerah jawa pembangunannya sangatlah cepat, tetapi diluar jawa pembangunannya masih sangatlah lamban.
Atas dasar inilah, diera reformasi tepatnya tahun 1998an dibuatlah otonomi daerah yang bertujuan untuk memberikan wewenang penuh kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya masing-masing sehingga tidak terikat oleh pemerintah pusat.

Sistem Pemerintahan Indonesia menganut sistem Presindensial yaitu ditangan Presindenlah kekuasaan dan jalannya pemerintahan. Di era orde baru pemerintah menggunakan pendekatan sentralistik dimana kebijakan publik diatur ketat oleh pusat, sedangkan sekarang sudah bergeser menggunakan pendekatan desantralisasi yaitu pemberian otonomi daerah kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya masing-masing.
Dalam digram diatas adalah hirarki sistem pemerintahan Indonesia yang baru. Dimana ? Ada lembaga Eksekutif yaitu Presiden bersama pembantunya, Legislatif yaitu MPR, DPR, dan DPD. Yudikatif yaitu MK, MA, dan KY. Berikut adalah penjelasan tentang Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif :


1.     Legislatif
Legislatif adalah sebuah lembaga kenegaraan di Indonesia yang dalam hal ini memiliki tugas untuk membuat atau menciptakan produk undang-udang.Kekuasaan legelatif adalah kekuasaan membuat undang-undang atau disebut dengan rule making function. Legislatif ialah badan deliberatif pemerintah dengan kekuasaan membuat hukum Lembaga legislatif antara lain, yaitu parlemen, kongres, dan asembli nasional. Pada sistem pemerintahan Perlemen, legislatif adalah badan tertinggi dan mengangkat eksekutif. Pada sistem pemerintahan Presidensial, legislatif adalah cabang pemerintahan yang sama dan bebas dari eksektuif. Sebagai tambahan atas menetapkan hukum, legislatif biasanya memiliki kekuasaan untuk menaikkan pajak, menetapkan budget, dan pengeluaran uang lainnya. Legislatif kadangkala melaksanakan perjainjian dan meneklariskan perang.
Legislatif yaitu meliputi MPR, DPR, DPRD provinsi, DPRD kota/kabupaten serta DPD. DPR dan DPD dipilih melalui parpol dalam pemilu, sedangkan DPD dipilih melalui nonparpol dan non militer dalam pemilu. Tugas pokok DPR adalah membuat UU bersama dengan pemerintah, sedangkan DPD mengajukan RUU kedaeraan untuk dibahas bersama DPR.

Badan-badan legislatif Indonesia memiliki fungsi dan wilayah kewenangan yang berbeda-beda. Sebab itu, Jimly Asshiddiqie menyebut Indonesia setelah Amandemen ke-4 UUD 1945 menerapkan sistem Trikameral (sistem tiga kamar) dalam lembaga perwakilan rakyat karena terdiri atas tiga lembaga yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Argumentasi tiga kamar ini didasarkan bahwa masing-masing dari ketiga badan memiliki fungsi dan wewenang yang spesifik serta berbeda, kendati sesungguhnya kuasa dominan dalam membentuk undang-undang hanyalah DPR.

Sebagai pembanding, dapat dilihat sistem ketatanegaraan Amerika Serikat yang bikameral (dua kamar). Di negara tersebut kekuasaan legislatif ada di tangan Kongres yang terdiri atas dua kamar yaitu The House of Representatives dan Senates. Kongres terdiri atas The House of Representatives dan Senates. Anggota The House of Representatives terdiri atas wakil-wakil partai politik. Anggota Senates terdiri atas wakil-wakil negara bagian. Kongres tidak berdiri sebagai badan tersendiri oleh sebab ia hanya ada berkat gabungan antara anggota The House of Representatives dan Senates. Sementara di Indonesia, ada tiga lembaga perwakilan yang diakui konstitusi, yaitu MPR, DPR (termasuk DPRD I dan II di tingkat daerah), dan DPD.

Tugas dan wewenang MPR digariskan oleh Pasal 2 UUD 1945 yang meliputi tiga hal yaitu: (1) Mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar; (2) Melantik Presiden dan Wakil Presiden; dan (3) Memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatan menurut Undang-undang Dasar.

Anggota MPR tidak dipilih secara per se karena anggota MPR adalah kolektivitas dari seluruh anggota DPR-RI ditambah seluruh anggota DPD. Hanya anggota DPR-RI dan DPD saja yang dipilih rakyat secara langsung. MPR merupakan struktur legislatif yang cuma berkedudukan di tingkat pusat. MPR bersidang sedikitnya 5 (lima) tahun sekali dan setiap keputusannya diambil dengan suara terbanyak.

MPR Indonesia sesungguhnya dirancang ke aras dua kamar tersebut (DPR dan DPD). Namun, melalui amandemen terakhir UUD 1945, MPR tetap menjadi badan tersendiri yang diatur konstitusi. Argumentasi Trikameral ini sebagai berikut:
  1. Keberadaan Utusan Golongan telah dihapuskan sehingga prinsip keterwakilan fungsional (functional representation) di MPR menjadi tidak ada lagi. Sebab itu, anggota MPR hanya terdiri atas anggota DPR mewakili prinsip keterwakilan politik (political representation) dan DPD mewakili prinsip keterwakilan daerah (regional representation).
  2. MPR tidak lagi berfungsi selaku supreme body yang punya kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol. Sebelumnya, MPR fungsi-fungsi: (1) menetapkan UUD dan mengubah UUD; (2) menetapkan GBHN; (3) memilih Presiden dan Wakil Presiden; (4) meminta dan menilai pertanggungjawaban Presiden; (5) memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden. Kini fungsi tersebut telah susut menjadi hanya: (1) menetapkan UUD dan atau Perubahan UUD; (2) melantik Presiden dan Wakil Presiden, dan (3) memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden, dan (4) menetapkan Presiden dan atau Wakil Presiden Pengganti sampai terpilihnya Presiden dan atau Wakil Presiden.
  3. Amandemen UUD 1945 menyuratkan kekuasaan membentuk Undang-undang Dasar ada di tangan DPR (bukan MPR lagi). Sebab itu, Indonesia kini menganut separation of power (pemisahan kekuasaan).
  4. Dengan diterapkannya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, MPR tidak lagi punya kuasa memilih keduanya. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR melainkan langsung kepada rakyat. 
Kendati begitu, ada beberapa peran vital yang diemban MPR. Misalnya, menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1), MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Pasal 8 ayat (2) menyatakan dalam hal terjadi kekosongan wakil presiden, selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari MPR bersidang untuk memilih wakil presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan Presiden. 
Selain itu, Pasal 8 ayat (3) menyebut, bahwa dalam hal terjadinya kekosongan presiden dan wakil presiden secara bersamaan, maka selambat-lambatnya dalam 30 (tiga puluh) hari MPR bersidang untuk memilih presiden dan wakil presiden dari 2 (dua) pasangan calon presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wapres-nya meraih suara yang terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya. Juga, Pasal 3 ayat (3), Pasal 7A dan Pasal 7B, MPR punya kewenangan mengubah dan menetapkan UUD sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 37 UUD 1945.Dengan argumentasi-argumentasi ini, dapat dipahami bahwa MPR adalah lembaga yang berdiri sendiri di samping DPR dan DPD. Sebab itu, Indonesia dikenal menerapkan sistem perwakilan tiga kamar (trikameralisme).

Mengenai kecilnya peran MPR ini, Maswardi Rauf menulis bahwa sempat muncul pemikiran bahwa MPR itu tidak perlu dilembagakan. MPR tidak perlu berbentuk badan tersendiri sebab ia sekadar joint session dari persidangan-persidangan yang dilakukan DPR dan DPD. Lebih lanjut, Rauf menyatakan MPR sesungguhnya hanya punya tiga fungsi, yaitu: (1) Mengubah dan menetapkan UUD; (2) Melantik Presiden dan atau Wakil Presiden, dan (3) Memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya (tentu, setelah mendengar usulan DPR dan terpenuhinya mekanisme lain yang tidak mudah di dalam UUD 1945).

Fungsi MPR yang pertama dan ketiga bukanlah fungsi yang rutin dilakukan (jarang). Fungsi melantik Presiden dan Wakil Presiden pun sekadar seremonial, karena MPR sekadar melakukan upacara. Perlu diingat, yang memilih Presiden dan Wakil Presiden bukan lagi MPR, tetapi rakyat secara langsung. Sebab itu, MPR tidak dapat menghambat jalannya pelantikan dengan kuorum kehadiran anggota mereka apalagi jumlah suara yang setuju/tidak setuju pelantikan tersebut.

Majelis Permusyawaratan Rakyat

Dalam perspektif historis, cikal bakal MPR kini adalah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang beroperasi tahun 1945 hingga 1949. Saat itu, tata negara Indonesia belumlah semapan sekarang. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Dalam masa itu belumlah ada struktur legislatif bernama MPR. Namun, dalam Aturan Peralihan UUD 1945 termaktub bahwa sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk oleh UUD ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.

Tanggal 29 Agustus 1945 dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat yang saat itu merupakan badan pembantu Presiden. Anggotanya terdiri atas pemuka-pemuka masyarakat dari berbagai golongan dan daerah, termasuk anggota PPKI. Susunan pimpinan KNIP ini adalah: Mr. Kasman Singodimedjo (ketua); Mr. Sutardjo Kartohadikusuma (wakil); Mr. J. Latuharhary (wakil); dan Adam Malik (wakil). KNIP lalu mengusulkan pada eksekutif untuk menerbitkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X/1945 pada tanggal 16 Oktober 1945. Isi dari maklumat tersebut adalah diserahinya tugas-tugas MPR dan DPR serta penetapan Garis Besar Haluan Negara kepada KNIP, sebelum badan-badan yang diperuntukkan untuk itu belum ada.

Pada tahun 1949 hingga 1959 berlaku dua versi konstitusi berbeda: Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD RIS) dan UUD Sementara 1950 (UUDs 1950). Di dalam kedua versi konstitusi tersebut, lembaga bernama MPR tidaklah dikenal. Pada masa ini pula, Indonesia menyelenggarakan Pemilu pertama tanggal 29 September 1955. Dalam Pemilu ini, rakyat secara langsung memilih anggota DPR dan Konstituante (badan penyusun undang-undang dasar).

Setelah terpilih, Konstituante segera bersidang menyusun UUD permanen. Namun, di dalam Konstituante sendiri terjadi aneka perdebatan yang berujung pada ditemuinya deadlock. Untuk mengatasi itu, Presiden RI (Sukarno) segera mengeluarkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959. Isi dekrit tersebut adalah: (1) Pembubaran Konstituante; (2) Berlakunya kembali UUD 1945; dan (3) Pembatalan UUDS 1950 serta pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara (MPRs) serta Dewan Pertimbangan Agung sementara (DPAs). Upaya Presiden ini merupakan bentuk pengimplementasian pendirian struktur-struktur politik yang memang digariskan dalam UUD 1945.

Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 2 tahun 1959. Dasar hukumnya adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu. Isi dari Penpres tersebut adalah:
  • MPRS terdiri atas anggota DPR Gotong Royong ditambah utusan-utusan daerah dan golongan;
  • Jumlah anggota MPR ditetapkan Presiden;
  • Yang dimaksud daerah dan golongan adalah Daerah Swatantra Tingkat I (setara provinsi) dan Golongan Karya (fungsional);
  • Anggota tambahan MPRs diangkat Presiden dan mengucap sumpah menurut agama di hadapat Presiden atau Ketua MPRs yang dikuasakan oleh Presiden; dan
  • MPRs punya ketua dan beberapa wakil ketua yang diangkat Presiden.
Jumlah anggota MPRs yang dibentuk kemudian, didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 199 tahun 1960, adalah 616 orang. Jumlah ini terdiri dari 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah. Susunannya sebagai berikut: Chairul Saleh (ketua); Mr. Ali Sastroamidjojo (wakil); K.H. Idham Chalid (wakil); Dipa Nusantara Aidit (wakil); dan Kolonel Wilujo Puspojudo (wakil).

Dalam kelanjutannya, MPRs ini melakukan beberapa kali sidang. Sidang pertama diadakan 10 Nopember–7 Desember 1960, yang menghasilkan dua keputusan berikut: (1) Ketetapan MPRs Nomor I/MPRs/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar daripada Haluan Negara, dan; (2) Ketetapan MPRs Nomor II/MPRs/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969.

Sidang kedua yang diadakan MPRs berlangsung tanggal 15–22 Mei 1963. Dalam sidang kedua ini dicapat dua ketetapan berikut: (1) Ketetapan MPRs Nomor III/MPRs/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup, dan; (2) Ketetapan MPRs Nomor IV/MPRs/1963 tentang Pedoman-pedoman Pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.

Sidang ketiga yang diadakan MPRS terjadi pada tanggal 11–16 April 1965. Sidang ini menghasilkan ketetapan-ketetapan berikut: (1) Ketetapan MPRs Nomor V/MPRs/1965 tentang Amanat Politik Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS yang berjudul Berdiri di Atas Kaki Sendiri yang lebih dikenal dengan “Berdikari” sebagai Penugasan Revolusi Indonesia dalam Bidang Politik, Pedoman Pelaksanaan Manipol dan Landasan Program Perjuangan Rakyat Indonesia; (2) Ketetapan MPRs Nomor VI/MPRs/1965 tentang Banting Stir untuk Berdiri di Atas Kaki Sendiri di Bidang Ekonomi dan Pembangunan; (3) Ketetapan MPRs Nomor VII/MPRs/1965 tentang Gesuri, TAVIP (Tahun Vivere Pericoloso), The Fifth Freedom is Our Weapon dan The Era of Confrontation sebagai Pedoman-pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia, dan; (4) Ketetapan MPRs Nomor VIII/MPRs/1965 tentang Prinsip-prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai Pedoman bagi Lembaga-lembaga Permusyawaratan/Perwakilan.

Pada periode 1966 hingga 1972, periode setelah Presiden Sukarno tidak lagi menjabat presiden, terbentuklah susunan pimpinan MPRs sebagai berikut: Dr. Abdul Haris Nasution (ketua); Osa Maliki (wakil); H.M. Subhan Z.E. (wakil); M. Siregar (wakil); dan Mashudi (wakil). Struktur baru MPRs ini mengadakan Sidang Umum keempat MPRs di Istora Senayan Jakarta tanggal 21 Juni – 5 Juli 1966. Sidang umum ini menghasilkan banyak ketetapan, yang totalnya berjumlah dua puluh empat. Dalam Sidang Umum keempat ini juga diadakan Sidang Istimewa MPRs untuk mendengar Pidato bertanggungjawaban Presiden Sukarno dalam pidatonya yang dikenal sebagai Nawaksara.

MPRs tidak puas dengan pidato pertanggungjawaban tersebut, dan Presiden Sukarno lalu melengkapinya pada tanggal 10 Januari 1967 dengan suratnya berjudul Pelengkap Nawaksara Namun, tetap saja ini tidak memuaskan MPRs. MPRs sebab itu mengambil kesimpulan bahwa Presiden tidak memenuhi kewajiban konstitusional.
Di sisi lain, DPR-gr mengusulkan pada MPRs untuk mengadakan kembali Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Sukarno dan mengangkat Letjen Suharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRs No. IX/MPRs/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum. Sidang Istimewa akhirnya digelar MPR tanggal 7 hingga 12 Maret 1967.

Pada tahun 1971, Indonesia mengadakan Pemilu yang pertama. Dari Pemilu tersebut dihasilkan Susunan pimpinan MPR (tidak pakai kata sementara lagi). Susunan keanggotaan MPR ini didasarkan pada Undang-undang No.16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR. Menurut UU tersebut, jumlah anggota MPR adalah 920 orang, dengan komposisi lima fraksi berikut: (1) Fraksi ABRI 230 orang; (2) Fraksi Karya Pembangunan 392 orang; (2) Fraksi Partai Demokrasi Indonesia 42 orang; (4) Fraksi Persatuan Pembangunan 126 orang; dan (5) Fraksi Utusan Daerah 130 orang.

Pola MPR sejak tahun 1971 cenderung konsisten selama periode Orde Baru hingga 1998. Posisi MPR, dalam sidang 5 tahunannya melakukan hal-hal rutin seperti mengangkat Suharto sebagai presiden, menerima pidato pertanggungjawaban Suharto, dan menetapkan GBHN yang draft-nya sudah ditentukan oleh pemerintah. Kondisi ini sedikit berubah pasca transisi politik Indonesia 1998.

Pasca 1998, MPR mengalami perubahan sesuai perubahan politik yang terjadi di Indonesia. Perubahan ini tampak dari berubahnya fraksi-fraksi yang dihasilkan antar periode Pemilu. Dalam periode 1999 – 2004, jumlah Fraksi yang ada di MPR terdiri atas 9 Fraksi dan 1 NonFraksi. Fraksi-fraksi yang ada adalah: (1) Fraksi Partai Bulan Bintang berkekuatan 14 orang; (2) Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berkekuatan 305 orang; (3) Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa berkekuatan 5 orang; (4) Fraksi Partai Daulah Ummat berkekuatan 8 orang; (5) Fraksi Partai Golongan Karya berkekuatan 297 orang; (6) Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa berkekuatan 109 orang; (7) Fraksi PPP berkekkuatan 123 orang; (8) Fraksi Reformasi berkekuatan 46 orang; (9) Fraksi TNI/Polri berkekuatan 96 orang; dan (10) nonFraksi 1 orang yaitu Dr. Drs. Muhammad Ali, SH., Dip. Ed., M.Sc.

Pasca pemilu 2004, tercipta formasi baru Fraksi MPR yang terdiri atas 8 Fraksi dan 1 Kelompok Dewan Perwakilan Daerah. Fraksi-fraksi tersebut adalah: (1) Fraksi Partai Golongan Karya, di mana PKPB dan PBR juga bergabung ke sini; (2) Fraksi Demokrasi Indonesia Perjuangan, di mana juga PDS bergabung ke sini; (3) Fraksi Partai Persatuan Pembangunan; (4) Fraksi Partai Demokrat, di mana terdiri atas gabungan 5 parpol dengan 20 kursi; (5) Fraksi Partai Amanat Nasional; (6) Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa; (7) Fraksi Partai Keadilan Sejahtera; (8) Fraksi Partai Bintang Pelopor Demokrasi, di mana merupakan gabungan PBB, PP, PNI-Marhaenisme, PKPI, PPDK, dan PPDI; dan (9) Kelompok Dewan Perwakilan Daerah dengan kekuatan 132 orang.

Pasca Pemilu 2009, tercipta formasi baru Fraksi MPR yang terdiri atas 9 fraksi dan 1 kelompok Dewan Perwakilan Daerah. Fraksi-fraksi tersebut adalah: (1) Fraksi Demokrat dengan kekuatan 148 orang; (2) Fraksi Golongan Karya dengan kekuatan 106 orang; (3) Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan kekuatan 94 orang; (4) Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dengan kekuatan 57 orang; (5) Fraksi Partai Amanat Nasional dengan kekuatan 46 orang; (6) Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dengan kekuatan 38 orang; (7) Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa dengan kekuatan 28 orang; (8) Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya dengan kekuatan 26 orang; (9) Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat dengan kekuatan 17 orang; dan (10) Fraksi Kelompok Dewan Perwakilan Daerah dengan kekuatan 132 orang.

Dewan Perwakilan Rakyat

Dewan Perwakilan Rakyat (seterusnya disingkat DPR) adalah suatu struktur legislatif yang punya kewenangan membentuk undang-undang. Dalam membentuk undang-undang tersebut, DPR harus melakukan pembahasan serta persetujuan bersama Presiden. Fungsi-fungsi yang melekat pada DPR adalah: (1) fungsi anggaran; (2) fungsi legislasi; dan (3) fungsi pengawasan. Dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut, setiap anggota DPR memiliki hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul, dan hak imunitas.

Anggota DPR seluruhnya dipilih lewat pemilihan umum dan setiap calonnya berasal dari partai-partai politik. Secara substansial, struktur dan fungsi DPRD I serta DPRD II adalah sama dengan DPR pusat. Hanya saja, lingkup kewenangan DPRD I adalah di tingkat Provinsi sementara DPRD II di tingkat Kabupaten atau Kota.

DPR merupakan sebuah lembaga yang menjalankan fungsi perwakilan politik (political representative) karena --- menurut Jimly Asshiddiqie –-- fungsi legislatif berpusat di tangan DPR. Anggotanya terdiri atas wakil-wakil partai politik. Anggota DPR melihat segala masalah dari kacamata politik. Melalui lembaga ini, masyarakat di suatu negara diwakili kepentingan politiknya dalam tata kelola negara sehari-hari. Kualitas akomodasi kepentingan sebab itu bergantung pada kualitas anggota dewan yang dimiliki.

Dalam skema sistem politik David Easton, DPR bekedudukan hampir di setiap lini: (1) Dalam lini input, DPR merespon kepentingan masyarakat melakukan mekanisme pengaduan harian; (2) Dalam lini konversi DPR bersama pemerintah bernegosiasi bagaimana kepentingan masyarakat diakomodir; dan (3) Dalam lini output DPR mengeluarkan Undang-undang yang merupakan kebijakan negara yang harus dijalankan lembaga kepresidenan. Lebih lanjut, Almond telah merinci aneka fungsi yang dimaksud skema sistem politik Easton. Dalam konteks pemikiran Almond, maka DPR adalah struktur yang menjalankan fungsi-fungsi input (agregasi kepentingan, komunikasi politik) dan fungsi output yaitu legislasi. Dalam kekuasaannya sebagai legislator, DPR berhadapan dengan Presiden dan DPD. Harus ada kerjasama harmonis antara ketiga institusi ini, kendati kekuasaan legislatif tetap ada di tangan DPR.

Berdasar Pasal 20 UUD 1945, DPR dipahami sebagai lembaga legislasi atau legislator, bukan Presiden atau DPR. Dalam konteks pembuatan undang-undang oleh DPR ini, UUD 45 menggariskan hal-hal sebagai berikut:
  • DPR adalah pemegang kekuasaan legislatif, bukan Presiden atau DPD;
  • Presiden adalah lembaga yang mengesahkan rancangan Undang-undang yang telah mendapat persetujuan besama dalam rapat paripurna DPR resmi menjadi Undang-undang;
  • Rancangan Undang-undang yang telah resmi sah menjadi Undang-undang wajib diundangkan sebagaimana mestinya;
  • Setiap rancangan undang-undang dibahas agar diperoleh persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam persidangan DPR;
  • Jika RUU adalah inisiatif DPR, maka DPR sebagai institusi akan berhadapan dengan Presiden sebagai kesatuan institusi yang dapat menolak inisiatif DPR itu (seluruhnya atau sebagian). RUU itu tidak boleh lagi diajukan DPR dalam tahun sidang yang sama. Di sini, posisi DPR dan Presiden berimbang;
  • Jika RUU inisiatif Presiden, maka DPR juga berhak menerima ataupun menolak (sebagian atau seluruhnya). DPR dapat melakukan voting untuk menerima atau menolak RUU yang diajukan Presiden itu;
  • Jika suatu RUU telah disetujui dalam rapat paripurna DPR dan disahkan dalam rapat DPR tersebut, maka secara substantif ataupun materiil RUU tersebut sah sebaga UU. Namun, pengesahan DPR itu belum mengikat secara umum karena belum disahkan oleh Presiden serta diundangkan sebagaimana mestinya. Meski Presiden sudah tidak dapat lagi mengubah materinya atau tidak menyetujuinya, tetapi sebagai UU ia sudah sah; dan
  • Suatu RUU yang disahkan DPR sebagai UU baru bisa berlaku umum mempertimbangkan kondisi berikut : (a) Faktor pengesahan oleh Presiden dengan cara menandatangani naskah Undang-undang itu; (b) Faktor tenggang waktu 30 hari sejak pengambilan keputusan atas rancangan UU tersebut dalam rapat paripurna DPR (pengesahan materil oleh DPR, pengesahan formil oleh Presiden).
DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Fungsi legislasi adalah fungsi membentuk undang-undang bersama dengan Presiden. Fungsi anggaran adalah menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bersama Presiden. Fungsi pengawasan adalah mengawasi jalannya pemberlakuan suatu undang-undang oleh DPR berikut aktivitas yang dijalankan Presiden.
Untuk melaksakan fungsi-fungsinya, DPR memiliki serangkaian hak. Hak-hak tersebut dibedakan menjadi Hak DPR selaku Lembaga dan Hak DPR selaku Perseorangan. Hak DPR selaku Lembaga meliputi: (1) hak interpelasi; (2) hak angket; (3) hak menyatakan pendapat; (4) hak mengajukan pertanyaan; (5) hak menyampaikan usul dan pendapat; dan (6) hak imunitas.

Hak Interpelasi diatur dalam UU No.22 tahun 2003, yaitu sebagai lembaga DPR berhak meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hak Angket adalah hak DPR sebagai lembaga, untuk menyelidiki kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hak Menyatakan Pendapat adalah hak DPR sebagai lembaga, untuk mengajukan usul menyatakan pendapat mengenai:
  • kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau situasi dunia internasional;
  • tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; dan
  • dugaan bahwa Presiden dan atau Wapres melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wapres.
Selain itu, Hak DPR selaku Perseorangan meliputi (1) Hak Mengajukan RUU; (2) Hak mengajukan pertanyaan; (3) Hak menyampaikan usul dan pendapat; (4) Hak memilih dan dipilih; (5) Hak membela diri; (6) Hak imunitas; (7) Hak protokoler; dan, (8) Hak keuangan dan administratif. Keterangannya adalah sebagai berikut:
  1. Hak mengajukan rancangan undang-undang adalah hak setiap anggota DPR untuk mengajukan Rancangan Undang-undang.
  2. Hak mengajukan pertanyaan adalah hak setiap anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan kepada Presiden yang disusun baik secara lisan/tulisan, singkat, jelas, dan disampaikan kepada pimpinan DPR.
  3. Hak menyampaikan usul dan pendapat adalah hak setiap anggota DPR untuk menyampaikan usul dan pendapat mengenai suatu hal, baik yang sedang dibicarakan maupun yang tidak dibicarakan dalam rapat.
  4. Hak memilih dan dipilih adalah hak setiap anggota DPR untuk menduduki jabata tertentu pada alat kelengkapan DPR sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
  5. Hak membela diri adalah hak setiap anggota DPR untuk melakukan pembelaan diri dan atau memberi keterangan kepada Badan Kehormatan DPR atas tuduhan pelanggaran Kode Etik atas dirinya.
  6. Hak imunitas adalah hak setiap anggota DPR tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan dan atau pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPR sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib DPR dan Kode Etik anggota dewan.
  7. Hak protokoler adalah hak setiap anggota DPR bersama Pimpinan DPR sesuai ketentuan perundang-undangan.
  8. Hak keuangan dan administratif adalah hak setiap anggota DPR untuk beroleh pendapatan, perumahan, kendaraan, dan fasilitas lain yang mendukung pekerjaan selaku wakil rakyat. Sebagai ilustrasi hak ini, menurut Surat Edaran Setjen DPR RI No. KU.00/9414/DPRRI/XII/2010 tentang Gaji Pokok dan Tunjangan Anggota DPR, penerimaan keuangan anggota DPR terdiri atas dua bagian, yaitu: (1) Gaji Pokok dan Tunjangan, dan (2) Penerimaan Lain-lain. Misalnya, bagi anggota DPR yang hanya merangkap menjadi anggota Komisi, maka jumlah gaji pokok dan tunjangan bersih sebulannya adalah Rp. 16.207.200. Penghasilan ini ditambah Penerimaan Lain-lain yang total sebulannya mencapai Rp. 35.360.000. Sehingga take home pay seorang anggota DPR yang hanya merangkap menjadi anggota Komisi adalah Rp. 16.207.200 + Rp. 35.360.000 = Rp. 51.567.200 (telah dipotong pajak). Penghasilan bulanan yang cukup besar ini merupakan bentuk penghargaan rakyat Indonesia kepada para wakil rakyat karena telah bersusah payah memikirkan dan mengurus segala kepentingan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Selain punya hak, anggota DPR juga punya kewajiban yang harus ia penuhi selama masa jabatannya (5 tahun). Kewajiban-kewajiban tersebut adalah: (1) Mengamalkan Pancasila; (2) Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan; (3) Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan; (4) Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia; (5) memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat; (6) Menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; (7) Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan; (8) Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya; (9) Menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPR; dan (10) Menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.
Di DPR, para anggota dewan tergabung ke dalam fraksi-fraksi. Fraksi adalah pengelompokan anggota dewan berdasarkan konfigurasi partai politik hasil Pemilihan Umum. Fraksi ini bersifat mandiri serta terbentuk dalam rangka optimalisasi dan pengefektivitasan pelaksanaan tugas, wewenang, hak dan kewajiban DPR. Fraksi mempunyai anggota sekurang-kurangnya 13 orang. Fraksi dapat juga dibentuk oleh gabungan anggota dari dua atau lebih partai politik hasil Pemilihan Umum yang kurang dari 13 orang atau dapat bergabung dengan Fraksi lain. Setiap anggota dewan harus menjadi anggota salah satu Fraksi. Pimpinan Fraksi ditetapkan oleh anggota Fraksinya masing-masing.
Tugas utama fraksi adalah mengkoordinasi kegiatan anggota dalam melaksanakan tugas dan wewenang mereka selaku anggota dewan. Fraksi juga bertugas meningkatkan kemampuan, disiplin, efektivitas, dan efisiensi kerja para anggota dalam melaksanakan tugas, dan tugas ini tercermin dalam setiap kegiatan DPR. DPR juga menyediakan sarana dan anggaran guna kelancaran pelaksanaan tugas Fraksi menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi.
Untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPR membentuk Alat Kelengkapan DPR yang terdiri atas: (1) Pimpinan DPR; (2) Badan Musyawarah; (3) Komisi; (4) Badan Legislasi; (5) Panitia Anggaran; (6) Badan Urusan Rumah Tangga; (7) Badan Kerja Sama Antar-Parlemen; (8) Badan Kehormatan; dan (9) Panitia Khusus.
Pimpinan DPR
 Pimpinan DPR merupakan kesatuan pimpinan yang sifatnya kolektif. Pimpinan DPR terdiri atas satu Ketua dan tiga Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh anggota dewan dalam Rapat Paripurna. Calon Ketua dan Wakil Ketua diusulkan oleh setiap fraksi kepada Pimpinan Sementara secara tertulis berupa satu paket calon Pimpinan yang terdiri atas satu orang calon Ketua dan tiga orang calon Wakil Ketua dari Fraksi yang berbeda untuk ditetapkan sebagai calon Pimpinan DPR dalam Rapat Paripurna.
Setelah terpilih, maka Pimpinan DPR bertugas antara lain: (1) Memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan; (2) Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara Ketua dan Wakil Ketua; (3) Menjadi juru bicara DPR; (4) Melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPR; (4) Melaksanakan konsultasi dengan Presiden dan Pimpinan Lembaga Negara lainnya sesuai dengan keputusan DPR; (5) Mewakili DPR dan/atau alat kelengkapan DPR di pengadilan; (6) Melaksanakan keputusan DPR berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi Anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; serta menetapkan arah, kebijakan umum dan strategi pengelolaan anggaran DPR; dan (6) Mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya dalam Rapat Paripurna DPR.
Proses Pembuatan Undang-undang

DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap Rancangan Undang-Undang (selanjutnya disebut RUU) dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. RUU dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD.

DPD dapat mengajukan kepada DPR, RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Apabila ada dua RUU yang diajukan mengenai hal yang sama dalam satu Masa Sidang yang dibicarakan adalah RUU dari DPR, sedangkan RUU yang disampaikan oleh presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

RUU yang sudah disetujui bersama antara DPR dengan Presiden, paling lambat 7 hari kerja disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang. Apabila setelah 15 hari kerja, RUU yang sudah disampaikan kepada Presiden belum disahkan menjadi undang-undang, Pimpinan DPR mengirim surat kepada presiden untuk meminta penjelasan. Apabila RUU yang sudah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

RUU dari Presiden

 RUU beserta penjelasan, keterangan, atau naskah akademis yang berasal dari Presiden disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dengan Surat Pengantar Presiden yang juga menyebutkan Menteri yang mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU tersebut.

Dalam Rapat Paripurna berikutnya – setelah RUU diterima oleh Pimpinan DPR – Pimpinan DPR memberitahu anggota dewan soal masuknya RUU dari presiden. Pimpinan DPR lalu membagikan RUU tersebut kepada seluruh anggota dewan. Namun, jika RUU tersebut berkait dengan dengan bidang yang diawasi DPD, maka RUU disampaikan kepada Pimpinan DPD.Penyebarluasan RUU dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa. Kemudian RUU dibahas dalam dua tingkat pembicaraan di DPR bersama dengan Menteri yang mewakili Presiden.

RUU dari DPD.

RUU beserta penjelasan, keterangan, dan naskah akademis yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR. Setelah RUU dari DPD diterima, Pimpinan DPR memberitahukan kepada anggota dewan dalam Rapat Paripurna berikutnya. RUU juga dibagikan kepada seluruh Anggota. Pimpinan DPR lalu menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pimpinan DPD mengenai tanggal pengumuman RUU telah dilakukan kepada anggota dewan dalam Rapat Paripurna.

Bamus selanjutnya menunjuk Komisi atau Baleg untuk membahas RUU tersebut, serta mengagendakan pembahasannya. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, Komisi atau Baleg mengundang anggota Alat Kelengkapan DPD sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari jumlah Anggota alat kelengkapan DPR, untuk membahas RUU. Hasil pembahasan RUU tersebut harus dilaporkan dalam Rapat Paripurna.

Selanjutnya, RUU yang telah dibahas lalu disampaikan Pimpinan DPR kepada Presiden, yaitu agar Presiden menunjuk menteri yang mewakili Presiden guna membahas RUU tersebut bersama DPR dan juga kepada Pimpinan DPD untuk ikut membahas.Dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya surat penyampaian RUU dari DPR, Presiden menunjuk Menteri yang ditugaskan mewakili Presiden dalam pembahasan RUU bersama DPR. Kemudian RUU dibahas dalam dua tingkat pembicaraan di DPR.

DPRD Propinsi

Pada prinsipnya, posisi DPRD Provinsi sama dengan DPR, tetapi diarahkan ke pembuatan perundang-undangan di tingkat Provinsi. Eksekutif mitra kerjanya adalah Gubernur. Fungsi DPRD Provinsi adalah legislasi, anggaran, dan pengawasan. Sementara itu, tugas dan wewenang DPRD Provinsi adalah sebagai berikut:
  1. membentuk peraturan daerah yang dibahas dengan gubernur untuk mendapat persetujuan bersama;
  2. menetapkan APBD bersama dengan gubernur;
  3. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, keputusan gubernur, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah;
  4. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur/wakil gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri;
  5. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah; dan
  6. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam pelaksanaan tugas desentralisasi.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPRD Provinsi memiliki hak yang sama dengan DPR, baik selaku lembaga maupun perseorangan anggota. Hak selaku lembaga tersebut adalah Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat. Sementara itu, selaku perseorangan, setiap anggota DPRD Provinsi memiliki hak mengajukan rancangan peraturan daerah (perda), hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan pendapat, hak memilih dan dipilih, hak membela diri, hak imunitas, hak protokoler, dan hak keuangan/administratif.
Selain hak, kewajiban anggota DPRD Provinsi adalah sama dengan kewajiban anggota DPR. Hanya saja, lingkup penerapannya ada di Provinsi. Keputusan peresmian jabatan seorang anggota DPRD Provinsi diberikan oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia.

DPRD Kabupaten atau Kota

Peresmian keanggotaan DPRD Kabupaten atau Kota dilakukan melalui Keputusan Gubernur. Jumlah anggota DPRD Kabupaten atau Kota sekurang-kurangnya adalah 20 dan sebanyak-banyaknya 45 orang. Setiap anggota DPRD Kabupaten atau Kota harus berdomisili di Kabupaten atau Kota tersebut. Untuk hak, kewajiban, dan kewenangan lainnya adalah mirip dengan DPRD Provinsi. Hanya saja, diterapkan di lingkup Kabupaten atau Kota dengan mitra kerjanya yaitu Bupati atau Walikota.

Dewan Perwakilan Daerah

Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disebut DPD) adalah struktur legislatif yang relatif baru dalam sistem politik Indonesia. Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum, dan jumlah anggota DPD di setiap provinsi adalah sama. Namun, Undang-undang Dasar 1945 mengatur bahwa jumlah total anggota DPD ini tidak boleh melebihi 1/3 (sepertiga) jumlah anggota DPR. DPD bersidang sedikitnya satu kali dalam setahun.

Fungsi DPD adalah mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi daerah, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain mengajukan rancangan undang-undang dalam konteks yang telah disebut, DPD juga ikut serta dalam membahas rancangan undang-undang yang mereka ajukan ke DPR. Juga, DPD dapat memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Sehubungan dengan fungsi di atas – mengusulkan, ikut membahas, dan memberikan pertimbangan – DPD juga punya hak untuk mengawasi pelaksanaan setiap undang-undang berkait masalah di atas. Namun, sebagai hasil pengawasan, DPD tidak dapat bertindak langsung oleh sebab mereka harus menyampaikan terlebih dahulu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dalam konteks pembuatan undang-undang, DPD amat bergantung kepada DPR.

Anggota DPD dipilih melalui pemilu di setiap provinsi. Jumlah anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama (misalnya 4 orang) dan total seluruh anggota DPD tidak boleh melebihi dari 1/3 (sepertiga) jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. DPD bersidang sedikitnya satu kali dalam satu tahun. DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR. RUU tersebut harus berlingkup pada konteks otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya daerah, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

DPD juga ikut serta dengan DPR membahas RUU yang sudah disebut di atas. Selain itu, DPD juga dapat memberi pertimbangan kepada DPR seputar RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta RUU yang berkaitan dengan masalah pajak, pendidikan, dan agama. DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang sehubungan dengan hal telah disebut. Hasil dari pengawasan tersebut disampaikan kepada DPR sebagai bahan untuk ditindaklanjuti.

Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa awalnya DPD dimaksudkan sebagai kamar kedua (second chamber, bicameral) Indonesia. Namun, ketentuan kamar kedua harus memenuhi persyaratan bikameralisme: Kedua kamar sama-sama punya otoritas menjalankan fungsi legislatif. DPD sama sekali tidak punya kekuasaan legislatif. Pasal 22D UUD 1945 menyiratkan tidak ada satupun kekuasaan DPD untuk membuat UU, meskipun berhubungan dengan masalah daerah.

Selain itu, persyaratan menjadi anggota DPD terkesan lebih berat ketimbang menjadi anggota DPR. Misalnya, total seluruh anggota DPD tidak boleh lebih dari 1/3 anggota DPR. Selain itu, jumlah mereka haruslah sama di tiap provinsi tanpa memandang besar kecilnya jumlah penduduk di provinsi tersebut. Bandingkan dengan anggota DPR yang kursinya diproporsikan menurut jumlah penduduk. Makin besar jumlah penduduk, makin besar pula kursi perwakilannya. Sehubungan beratnya syarat anggota DPD ini, contoh dapat diambil di Jawa Timur dalam Pemilu 2009. Total anggota DPD dari provinsi tersebut adalah 4 orang. Satu kursi DPD sebab itu membutuhkan suara 5.500.000 pemilih. Sementara untuk anggota DPR, cuma membutuhkan angka 550.000: Bandingkan antara angka 5.500.000 dengan 550.000.



2.     Eksekutif

Eksekutif, yaitu lembaga negara yang mengelolah lembaga pemerintahan baik dalam tingkat pusat maupun tingkat daerah. Pada tingkat pusat dikepalai oleh Presiden dan wapres. Sedangkat tingkat provinsi oleh gubernur dan wagub, untuk tungkat berikutnya pemerintahan kota dipimpin oleh walikota dan wawako serta kabupaten oleh bupati dan wabub. Tugas pokok dari lembaga ini adalah melaksanakan pemerintahan.

Presiden dan Wakil Presiden

Undang-undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, membatasi masa jabatan presiden/wakil presiden selama 2 periode. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif) berdasarkan konstitusi. Dalam melakukan tugas tersebut, presiden dibantu wakil presiden. Presiden juga berhak mengajukan rancangan Undang-undang kepada DPR. Selain itu, Presiden juga memiliki kewenangan untuk menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-undang.

Presiden dan Wakil Presiden Indonesia tidak dipilih dan diangkat oleh MPR melainkan langsung dipilih oleh rakyat dalam Pemilu. Presiden dan Wakil Presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik sebelum Pemilu. Setelah terpilih, periode masa jabatan Presiden adalah 5 tahun, dan setelah itu, ia berhak terpilih kembali hanya untuk 1 lagi periode.

Presiden dengan persetujuan DPR dapat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain. Dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden juga memiliki kewenangan meyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat dari keadaan bahawa ditetapkan dengan undang-undang.

Selain itu, Presiden juga memiliki hak untuk memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada yang diberikan oleh presiden. Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Presiden juga memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Amnesti adalah pernyataan umum (diterbitkan melalui atau dengan undang-undang) yang memuat pencaabutan semua akibat pemidanaan dari suatu perbuatan pidana (delik) tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana (delik) tertentu, bagi terpidana, terdakwa yang dinyatakan bersalah melakukan delik-delik tersebut. Abolisi adalah penghapusan terhadap seluruh akibat penjatuhan putusan pengadilan pidana kepada seseorang terpidana, terdakwa yang bersalah melakukan delik.

Gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya juga diberikan Presiden kepada individu maupun kelompok yang diatur dengan undang-undang. Dalam melakukan tugasnya, Presiden dapat membentuk suatu dewan pertimbangan untuk memberikan nasehat dan pertimbangan kepadanya, dan ini diatur dengan undang-undang.

Layaknya sebuah organisasi, Presiden Republik Indonesia memiliki visi, misi dan strategi sendiri. Lengkap ketiga hal tersebut adalah sebagai berikut :

Visi : 
  • terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara yang aman, bersatu, rukun dan damai.
  • terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan dan hak azasi manusia, serta
  • terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan kehidupan yang layak serta memberikan fondasi bagi pembangunan yang berkelanjutan.

Misi : 
mewujudkan Indonesia yang aman dan damai;
mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis;
mewujudkan Indonesia yang sejahtera.

Strategi : 
  • strategi Penataan Kembali Indonesia yang diarahkan untuk menyelamatkan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan semangat, jiwa, nilai, dan konsensus dasar yang melandasi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan jiwa dan konsensus dasar yang melandasi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi Pancasila; Undang-undang Dasar 1945 (tertama Pembukaan Undang-undang Dasar 1945); tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan tetap berkembangnya pluralisme dan keberagaman dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika;
  • strategi Pembangunan Indonesia yang diarahkan untuk membangun Indonesia di segala bidang yang merupakan perwujudan dari amanat yang tertera jelas dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 tertutama dalam pemenuhan hak dasar rakyat dan penciptaan landasan pembangunan yang kokoh. 

Kementrian Republik Indonesia

Menteri adalah pembantu presiden. Ia diangkat dan diberhentikan oleh presiden untuk suatu tugas tertentu. Kementrian di Indonesia dibagi ke dalam 3 kategori yaitu Kementerian Koordinator, Kementrian Departemen, dan Kementrian Negara.

Kementrian Koordinator bertugas membantu presiden dalam suatu bidang tugas. Di Indonesia, menteri koordinator terdiri atas 3 bagian, yaitu: Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Menteri Koordinator bidang Perekonomian; Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat.

a. Menteri Koordinator
Menteri koordiantor adalah Menteri Negara pembantu kinerja Presiden yang bertugas untuk mengkoordinasi, menyiapkan, penyusunan serta pelaksanaan kebijakan negara yang berada dalam kewenangannya.
b. Menteri Negara Pemimpin Departemen
Menteri Negara Pemimpin Departemen adalah menteri yang sekaligus menjabat sebagai pimpinan suatu departemen misalkan Menteri BUMN yang sekaligus menjadi pimpinan BUMN.
c. Menteri Negara tidak Mempimpin Departemen
Menteri Negara tidak Memimpin Departemen artinya, para menteri tidak membawahi suatu departemen dalam pemerintahan.
d. Pejabat Setingkat Menteri
Pejabat Setingkat Menteri adalah Pejabat negara yang bukan menteri tapi kedudukannya setingkat menteri.

3.     Yudikatif
yudikatif adalah lembaga yang memiliki tugas untuk mengawal serta memantau jalannya perundang-udangan atau penegakan hukum di Indonesia. Lembaga yudikatif  terdiri dari MA, MK, dan KY. Setiap lembaga-lembaga itu memiliki fungsi masing-masing sesuai UU. MA berfungsi mengadili perkara pada tingkat kasasi dan menguji produk hukum dibawah UU. Sedangkan MK memiliki fungsi menguju produk hukum diatas UU dan membubarkan parpol. Sementara KY berguna untuk menentukan calon hakim agung.
Mahkamah Agung

Mahkamah Agung – sesuai Pasal 24A UUD 1945 – memiliki kewenangan mengadili kasus hukum pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang. Sebagai sebuah lembaga yudikatif, Mahkamah Agung memiliki beberapa fungsi. Fungsi-fungsi tersebut adalah: Potret Indonesia 

Fungsi Peradilan.
Pertama, membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali. Kedua, memeriksa dan memutuskan perkara tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang kewenangan mengadili, permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sengketa akibat perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang RI. Ketiga, memegang hak uji materiil, yaitu menguji ataupun menilai peraturan perundangan di bawah undang-undang apakah bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi.

Fungsi Pengawasan.
Pertama, Mahkamah Agung adalah pengawas tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan. Kedua, Mahkamah Agung adalah pengawas pekerjaan pengadilan dan tingkah laku para hakim dan perbuatan pejabat pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok kekuasaan kehakiman, yaitu menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan. Ketiga, Mahkamah Agung adalah pengawas Penasehat Hukum (Advokat) dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan, sesuai Pasal 36 Undang-undang nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).

Fungsi Mengatur.
 Dalam fungsi ini, Mahkamah Agung mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung.

Fungsi Nasehat.
Pertama, Mahkamah Agung memberikan nasehat ataupun pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain. Kedua, Mahkamah Agung memberi nasehat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian/penolakan Grasi dan Rehabilitasi.

Fungsi Administratif.
Pertama, mengatur badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara) sesuai pasal 11 ayat 1 Undang-undang nomor 35 tahun 1999. Kedua, mengatur tugas dan tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan.

Saat ini, Mahkamah Agung memiliki sebuah sekretariat yang membawahi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Tata Usaha Negara, Badan Pengawasan, Badan Penelitian dan Pelatihan dan Pendidikan, serta Badan Urusan Administrasi. Badan Peradilan Militer kini berada di bawah pengaturan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Tata Usaha Negara.

Mahkamah Agung memiliki sebelas orang pimpinan yang masing-masing memegang tugas tertentu. Daftar tugas pimpinan tersebut tergambar melalui jabatan yang diembannya yaitu: (1) Ketua; (2) wakil ketua bidang yudisial; (3) wakil ketua bidang non yudisial; (4) ketua muda urusan lingkungan peradilan militer/TNI; (5) ketua muda urusan lingkungan peradilan tata usaha negara; (6) ketua muda pidana mahkamah agung RI; (7) ketua muda pembinaan mahkamah agung RI; (8) ketua muda perdata niaga mahkamah agung RI; (9) ketua muda pidana khusus mahkamah agung RI, dan; (10) ketua muda perdata mahkamah agung RI. Selain para pimpinan, kini Mahkamah Agung memiliki 37 orang Hakim Agung sementara menurut Undang-undang Nomor 5 tahun 2004 Mahkamah Agung diperkenankan untuk memiliki Hakim Agung sebanyak-banyaknya enam puluh (60) orang.

Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir (sifatnya final) atas pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi juga wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden/Wapres diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa penkhianatan terhadap negara, korupsi, tindak penyuapan, tindak pidana berat atau perbuatan tercela. Atau, seputar Presiden/Wapres tidak lagi memenuhi syarat untuk melanjutkan jabatannya. Mahkamah Konstitusi hanya dapat memproses permintaan DPR untuk memecat Presiden dan atau Wakil Presiden jika terdapat dukungan sekurang-kuranya dua per tiga dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua per tiga dari jumlah anggota DPR.

Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas 9 orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dari 9 orang tersebut, 1 orang menjabat Ketua sekaligus anggota, dan 1 orang menjabat wakil ketua merangkap anggota. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi masing-masing menjabat selama 3 tahun. Selama menjabat sebagai anggota Mahkamah Konstitusi, para hakim tidak diperkenankan merangkap profesi sebagai pejabat negara, anggota partai politik, pengusaha, advokat, ataupun pegawai negeri. Hakim Konstitusi diajukan 3 oleh Mahkamah Agung, 3 oleh DPR, dan 3 oleh Presiden. Seorang hakim konstitusi menjabat selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 kali masa jabatan lagi.

Hingga kini, beberapa perkara telah diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi. Perkara-perkara tersebut misalnya Pengujian Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tetang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan Pemohon Edy Cahyono, et.al. Perkara lainnya misalnya Pengujian Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Atau, yang bersangkutan dengan hasil pemilu seperti Permohonan Keberatan terhadap Penetapan Perhitungan Suara Hasil Pemilukada Kabupaten Belu Putaran II tahun 2008.

Komisi Yudisial

Komisi Yudisial tidak memiliki kekuasaan yudikatif. Kendati Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menempatkan pembahasan mengenai Komisi Yudisial pada Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi komisi ini tidak memiliki kekuasaan kehakiman, dalam arti menegakkan hukum dan keadilan serta memutus perkara. Komisi Yudisial, sesuai pasal 24B UUD 1945, bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan personalia hakim berupa pengajuan calon hakim agung kepada DPR sehubungan dengan pengangkatan hakim agung. Komisi ini juga mempunyai wewenang dalam menjaga serta menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dengan demikian, Komisi Yudisial lebih tepat dikategorikan sebagai Independent Body yang tugasnya mandiri dan hanya berkait dengan kekuasaan Yudikatif dalam penentuan personalia bukan fungsi yudikasi langsung. Peraturan mengenai Komisi Yudisial terdapat di dalam Undang-undang nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Komisi Yudisial memiliki wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Dalam melakukan tugasnya, Komisi Yudisial bekerja dengan cara: (1) melakukan pendaftaran calon Hakim Agung; (2) melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung; (3) menetapkan calon Hakim Agung, dan; (4) mengajukan calon Hakim Agung ke DPR. Pada pihak lain, Mahkamah Agung, Pemerintah, dan masyarakat juga mengajukan calon Hakim Agung, tetapi harus melalui Komisi Yudisial.

Dalam melakukan pengawasan terhadap Hakim Agung, Komisi Yudisial dapat menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim, meminta laporan berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim, melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim, memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim, dan membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan atau Mahkamah Konstitusi serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.

Anggota Komisi Yudisial diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Sebelum mengangkat, Presiden membentuk Panitia Seleksi Pemilihan Anggota Komisi Yudisial yang terdiri atas unsur pemerintah, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat. Seorang anggota Komisi Yudisial yang terpilih, bertugas selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 periode. Selama melaksanakan tugasnya, anggota Komisi Yudisial tidak boleh merangkap pekerjaan sebagai pejabat negara lain, hakim, advokat, notaris/PPAT, pengusaha/pengurus/karyawan BUMN atau BUMS, pegawai negeri, ataupun pengurus partai politik.




BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Sistem pemerintahan negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga yang bekerja dan berjalan saling berhubungan satu sama lain menuju tercapainya tujuan penyelenggaraan negara. Lembaga-lembaga negara dalam suatu sistem politik meliputi empat institusi pokok, yaitu eksekutif, birokratif, legislatif, dan yudikatif. Selain itu, terdapat lembaga lain atau unsur lain seperti parlemen, pemilu, dan dewan menteri.
Ada 2 pembagian sistem pemerintahan negara indonesia yaitu presidensial dan parlementer. Pembagian sistem pemerintahan presidensial dan parlementer didasarkan pada hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dalam sistem parlementer Kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif, sedangkan sistem presidensial Kekuasaan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.





DAFTAR PUSTAKA

















0 komentar:

Posting Komentar

Masayu Nabila. Diberdayakan oleh Blogger.

Gunadarma University